Ihwal kebersahajaan dan kesederhanaan Pesantren Darussalam ternyata sama tuanya dengan sejarah pesantren ini. Nun di paruh 1929, Kiai Haji Ahmad Fadlil (meninggal tahun 1950), ayahanda K.H. Irfan Hielmy, memulai kisah kebersahajaan dengan sebuah masjid dan sebuah bilik sebagai asrama. Santri yang pertama kali mondok adalah pemuda-pemuda setempat yang tidak saja diajari ilmu-ilmu agama tetapi diajak mengolah sawah, bercocok tanam, dan diberi contoh bagaimana memelihara bilik dan memakmurkan masjid. Pesantren Tjidewa, sebutan untuk komunitas baru itu, dengan cepat mendapat simpati serta dukungan dari masyarakat sekitar lebih banyak lagi santri yang mondok.
Adalah pasangan suami-isteri Mas Astapradja dan Siti Hasanah yang mewakafkan tanahnya di Kampung Kandanggajah, Desa Dewasari, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, kepada Kiai Ahmad Fadlil. Dibantu oleh masyarakat dan santri, Pesantren Tjidewa menapaki guratan sejarah dengan optimisme menghilangkan benalu yang menempel dalam ajaran Islam.
Menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, di Pesantren Tjidewa sudah mondok 400 orang santri yang mengaji ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah, dan perbandingan madzhab, di samping kitab-kitab ilmu sharaf dan ilmu nahwu. Keputusan Kiai Ahmad Fadlil dengan hanya menerima santri putra tidak terlepas dari kondisi saat itu yang tidak bisa keluar dari kontelasi keamanan akibat penjajahan Belanda. Karena didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah dan ditambah dengan meluapnya semangat santri untuk menghalau Belanda, Kiai mengajarkan pula strategi berdiplomasi mengatasi tekanan penjajah. Apalagi dengan kemampuannya berbahasa Belanda ia belajar bahasa Belanda kepada kakek dari keluarga ibunya sejak di sekolah rakyat (Vervolg School)dengan mudah bisa menyerap berbagai informasi yang kelak berguna sebagai modal berdiplomasi.
Lebih dari itu, penguasaan terhadap teks berbahasa Arab telah tampak sejak Ahmad Fadlil muda berhasil menghapal kitab-kitab Jauharul Maknun, Uqudul Juman, Talkhisul Miftah dan syair-syairnya. Bahkan, pada usia 31 tahun, ia telah berhasil menerjemahkan Qasidah Burdah karya Muhammad Said al-Busyiri. Sampai sekarang, kasidah burdah berbahasa Sunda yang merupakan karya terjemahan masterpiece Kiai Ahmad Fadlil, masih terdengar dibaca dan didendangkan oleh santri-santri di banyak pesantren tradisional terutama di Jawa Barat.